Short Opinion: Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Prank di Sistem Elektronik
Akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan adanya berita mengenai akun Youtube bernama Ferdian Paleka yang melakukan prank (gurauan) dengan cara membagikan sembako yang berisi sampah dan batu kepada beberapa waria/ transpuan di Kota Bandung, Jawa Barat. Sontak, kritik pun datang dari berbagai pihak lantaran aksi yang dilakukan oleh youtuber tersebut dianggap tidak terpuji dan merugikan orang lain. Berdasarkan Cambridge Dictionary, prank adalah a trick that is intended to be funny but not to cause harm or damage yang dapat diartikan secara bebas sebagai sebuah trik yang dimaksudkan untuk sebuah kelucuan tapi tidak mengakibatkan bahaya atau kerusakan.
Meskipun saat ini vidio yang berjudul "Prank Ngasih Makan ke Banci CBL" yang membuat youtuber tersebut sudah di hapus dan begitu juga dengan akun instagram miliknya @ferdianpalekaa namun perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut tidak secara mutatis mutandis dapat dilupakan begitu saja baik oleh korban maupun oleh masyarakat yang resah akan perbuatan youtuber tersebut. Terbukti pada Senin (4/5/2020) korban yang diwakili oleh Komunitas transgender atau waria Kota Bandung yang tergabung dalam Srikandi Pasundan melaporkan perbuatan pelaku kepada Polrestabes Bandung dan pada rumah pelaku di Baleendah, Bandung juga di datangi oleh masa.
Menurut hemat penulis, munculnya kasus tersebut menunjukkan adanya degradasi moral dari oknum youtuber di tanah air dimana pelaku lebih mementingkan jumlah viewer dan AdSence daripada menjaga hak orang lain yang dirugikan karena adanya prank tersebut. Terlebih lagi perbuatan tersebut dilakukan pada saat terjadinya pandemi perbuatan tersebut dilakukan pada saat terjadinya pandemi Covid-19 yang mengakibatkan dampak kesulitan ekonomi pada beberapa lapisan masyarakat, bahkan hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti sembako. Di kesempatan lain setelah kasus tersebut viral, pelaku sempat mengunggah vidio permintaan maaf, namun lagi-lagi dalam vidio tersebut pelaku malah bercanda dalam meminta maaf tersebut.
Ketika pertama kali mengetahui kasus ini penulis teringat dengan adagium yang diungkapkan oleh Roscoe Pound yang berbunyi "Law as a tool of Social Control" maka dalam hal ini hukum berperan sebagai alat pengawas dalam masyarakat agar masyarakat tidak melakukan perbuatan melawan hukum berupa perbuatan pidana. Perbuatan pidana sendiri diartikan sebagai setiap perbuatan yang diperintahkan atau dilarang oleh peraturan pidana yang disertai sanksi berupa pidana bagi mereka yang tidak melaksanakan perintah atau melakukan larangan tersebut. Hukum terutama hukum pidana dalam kasus ini berperan agar terpenuhinya hak dan terlaksananya kewajiban yang dimiliki oleh setiap orang dan negara berkewajiban untuk memastikan terpenuhinya kedua hal tersebut. Apabila kedua hal tersebut sudah terpenuhi maka akan tercipta sebuah ketertiban umum dalam masyarakat dan menghindari adanya eigenrechting (main hakim sendiri) yang dilakukan oleh masyarakat yang merasa dirugikan dalam kasus tersebut.
Pada saat berbicara mengenai perbuatan pidana, tentunya tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban pidana. Menurut Simons sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej dalam Prinsip-Prinsip Hukum Pidana mengemukakan bahwa pertanggungjawaban pidana didefinisikan dengan dua hal yaitu keadaan psikis atau jiwa seseorang dan adanya hubungan anatara keadaan psikis tersebut dengan perbuatan yang dilakukan pelaku. Sistem hukum di Indonesia menganut Paham Dualistis yaitu paham yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, dimana seseorang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Dalam hal ini harus dilihat terlebih dahulu apakah terdapat kesalahan dalam diri pelaku sehingga perbuatan pelaku dapat dicela dan pelaku dapat dijatuhi pidana. Hal ini sesuai dengan asas Geen Straft Zonder Schuld yang berarti tiada pidana tanpa kesalahan. Meskipun asas tersebut tidak tertulis secara rinci dalam hukum tertulis sebagaimana asas legalitas, namun asas tersebut hidup dalam masyarakat dan di aplikasikan dalam Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi sebagai berikut:
"Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana"
Pasal a quo membuktikan bahwa KUHP Indonesia saat ini menganut paham Dualistis yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, dimana meskipun seseorang melakukan perbuatan pidana, namun sepanjang dapat dibuktikan di persidangan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya bahwa dalam diri terdakwa tidak terdapat kesalahan dalam hal ini berupa dalam diri pelaku terdapat keadaan subjektif yaitu karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, maka pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Hal yang perlu diingat dalam pembuktian unsur ketiadaan pertanggungjawaban pidana dalam diri pelaku ini adalah harus ditetapkan berdasarkan putusan hakim.
Menurut hemat penulis, dalam penyelesaian kasus prank yang dilakukan oleh oknum youtuber tersebut hukum harus menjadi panglima dengan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku dengan mengedepandan asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan prinsip due process of law (prinsip penegakan hukum yang mengedepankan hak asasi manusia). Dalam kasus a quo penulis berpendapat bahwa perbuatan yang diduga dilakukan pelaku dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penginaan. Tindak pidana penginaan sendiri dalam hukum positif di Indonesia diatur dalam Pasal 310 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
"Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah"
Namun hal yang perlu diingat bahwa perbuatan yang diduga dilakukan pelaku tersebut dilakukan di sistem elektronik berupa Youtube. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perbuahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Sistem Elektronik merupakan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Maka dari itu, terdapat ketentuan khusus terhadap tindak pidana penghinaan yang dilakukan oleh pelaku yaitu ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:
"Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya"
"Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya"
Berdasarkan kedua pasal a quo, maka media elektronik Youtube dapat dikategorikan sebagai Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik. Maka dalam kasus ini berlaku asas Lex Specialist Derogat Legi Generalli (undang-undang khusus mengesampingkan undang-undang umum), sehingga khusus mengenai tindak pidana penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik di media sosial berlaku ketentuan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:
"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)"
Apabila dilihat dari pasal a quo, maka yang menjadi objek dilecehkannya diri korban adalah nama baik dari korban itu sendiri. Menurut Mudzakir, nama baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang perilaku atau kepribadian seseorang dari sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu dilihat dari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga ukurannya ditentukan berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat tertentu di tempat mana perbuatan tersebut dilakukan dan konteks perbuatannya (Mudzakir, 2004 ; 17). Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa korban dirugikan dengan dilecehkannya nama baik korban itu sendiri sehingga korban mengalami rasa malu dan dapat mengakibatkan kerugian baik materiil maupun immateriil bagi diri korban. Selain itu apabila dilihat konstruksi pasal a quo, maka tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik dalam sistem elektronik bukanlah merupakan delik aduan (klacht delicten), namun merupakan delik biasa (gewone delicten). Hal ini terjadi karena tidak ada ketentuan secara expresive verbis yang menyatakan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik aduan. Konsekuensi dalam hal suatu tindak pidana termasuk sebagai delik biasa adalah ada atau tidak adanya laporan terhadap pelaku maka tetap dapat dilakukan penuntutan terhadap pelaku delik biasa tersebut dan juga setiap orang baik itu korban atau bukan korban dari suatu tindak pidana tersebut dapat melaporkan perbuatan pelaku kepada penegak hukum dalam hal ini penyidik kepolisian atau penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) ndang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun menurut penulis, hal unik dari pasal a quo adalah tidak di syaratkannya kerugian materiil atau immateriil dari diri korban akibat penghinaan atau pencemaran nama baik dari pelaku tersebut, sehingga korban maupun orang lain yang mengetahui tindakan tersebut dapat melaporkan kepada penegak hukum.
Pengertian "mendistribusikan", "mentransmisikan", dan "membuat dapat diakses" sebagaimana dimaksud dalam pasal a quo ditentukan dalam penjelasan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perbuahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perbuatan "mendistribusikan" adalah perbuatan mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik. Sedangkan perbuatan “mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik. Kemudian, perbuatan "membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.
Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelaku prank yang dilakukan di Sistem Elektronik berupa Youtube dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena melakukan perbuatan pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perbuahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sepanjang dapat dibuktikan oleh penuntut umum bahwa dalam diri terdakwa tidak adanya penghapus pertanggungjawaban pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 KUHP.
Comments
Post a Comment