Short opinion: Antara Delik Penghinaan Presiden dan Kemerdekaan Pers

 Antara Delik Penghinaan Presiden dan Kemerdekaan Pers

(oleh: Muhammad Kharisma Bayu Aji)

    Beberapa waktu yang lalu masyarakat Indonesia dikejutkan dengan adanya video wawancara presenter kondang Najwa Shihab kepada kursi kosong yang dimaksudkan untuk mewawancarai Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto dan di unggah melalui kanal youtube  Najwa Shihab dengan judul #MataNajwaMenantiTerawan. Rekaman video tersebut sempat viral dan ditonton lebih dari 2 juta viewer hanya dengan kurun waktu kurang dari satu minggu setelah di unggah. Hal yang tidak disangka sekitar satu minggu kemudian, sekelompok orang yang menamakan dirinya sebagai Relawan Jokowi Bersatu melaporkan Najwa Shihab ke Polda Metro Jaya atas dugaan penghinaan kepada presiden karena rekaman video tersebut dianggap merupakan bentuk cyberbullying kepada Menkes dan melukai hati kelompok Relawan Jokowi Bersatu karena Menkes merupakan representasi presiden (dikutip dari Republika.id dengan judul "Wawancara Kursi Kosong, Najwa Shihab dilaporkan Polisi"). 

    Ketentuan mengenai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 134, 136 bis, dan 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006, ketiga pasal a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang berbunyi "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar". Dalam pertimbangannya MK menyatakan bahwa ketiga pasal  a quo dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu proses pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden yang pada akhirnya akan menghambat hak atas kebebasan menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan ketika pasal-pasal tersebut digunakan oleh penegak hukum di lapangan (dikutip dari Ringkasan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006).

    Sementara itu apabila rekaman video wawancara tersebut dianggap melakukan cyberbullying atau penghinaan terhadap pejabat negara yang dalam hal ini adalah Presiden atau Menkes RI, maka juga berlaku ketentuan penghinaan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 310 jo Pasal 316 jis Pasal 319 KUHP.  Selengkapnya bunyi Pasal 316 dan 319 KUHP adalah sebagai berikut:

Pasal 310 KUHP

"(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ratus lima puluh ribu rupiah

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri"

Pasal 316 KUHP

"Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah"

Pasal 319 KUHP

"Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316"

    Ketiga pasal a quo pada intinya menyatakan bahwa tindak pidana penghinaan yang pada dasarnya merupakan delik aduan (klacht delicten) dimana yang berhak melaporkan hanyalah orang yang menjadi obyek yang dihina tersebut, namun khusus untuk penghinaan terhadap pejabat negara terdapat ketentuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 316 dan 319 KUHP yaitu berupa jumlah hukuman ditambah sepertiganya dan bukan merupakan delik aduan. Artinya ketika seseorang melakukan penghinaan terhadap pejabat negara termasuk kepada presiden atau menteri, maka tindak pidana tersebut bukan lagi merupakan delik aduan dan setiap orang dapat melaporkan atas dugaan adanya tindak pidana penghinaan terhadap pejabat negara tersebut kepada  penegak hukum. Namun hal yang wajib diketahui, lagi-lagi MK melalui Putusan MK Nomor 31/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa frasa "kecuali berdasarkan pasal 316" sebagaimana tercantum dalam Pasal 319 KUHP tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (dikutip dari Putusan MK Nomor 31/PUU-XIII/2015). Artinya, MK ingin mengembalikan pasal penghinaan terhadap pejabat sebagaimana diatur dalam Pasal 316 KUHP menjadi delik aduan, dimana dugaan tindak pidana penghinaan hanya dapat diproses sepanjang terdapat laporan dari pejabat yang dihina tersebut.

    Lebih lanjut, karena yang menjadi terlapor dalam hal ini adalah wartawan yang sedang menjalankan tugasnya maka sebagaimana dimaksud dalam salah satu konsideran UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) menyatakan bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang dijamin sebagai hak asasi warga negara serta mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial (vide Pasal 3 ayat 1 dan pasal 4 ayat 1 UU Pers). Penjelasan Pasal 4 ayat (1) mengenai kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Perlu digaris bawahi bahwa salah satu fungsi pers adalah sebagai kontrol sosial yang mengemban tugas sebagai penyambung informasi kepada masyarakat mengenai apakah penyelenggara negara telah melaksanakan tugas dan fungsinya sejalan dengan UUD NRI 1945 atau tidak, maka dari itu kemerdekaan pers tanpa adanya intimidasi dari pihak manapun merupakan hal yang mutlak dalam mencapai fungsi pers tersebut.

    Dalam hukum terdapat perlindungan yang diberikan kepada beberapa profesi tertentu dalam menjalankan pekerjaannya, salah satu profesi yang mendapat perlindungan dalam menjalankan pekerjaannya adalah profesi wartawan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU UU Pers yang menyatakan sebagai berikut:

"Dalam menjalankan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum

    Penjelasan pasal a quo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam menjalankan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sepintas apabila melihat konstruksi pasal tersebut beserta penjelasan pasalnya, terlihat tidak ada kepastian hukum bagi seorang wartawan untuk mendapatkan perlindungan dalam menjalankan tugasnya karena tidak disebutkan bagaimana bentuk dan prosedur perlindungan hukum yang diberikan oleh negara. Hal ini berbeda dengan profesi lain yang mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan pekerjaannya oleh negara, sebagai contoh profesi advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang menyatakan bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana  dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. Meskipun begitu karena wartawan menjalankan profesinya berdasarkan undang-undang dalam hal ini adalah UU Pers serta peraturan pelaksananya dan apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 50 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

"Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana"

    Pasal a quo merupakan salah satu jenis alasan penghapus pidana dengan bentuk alasan pembenar yang menghapuskan elemen melawan hukumnya suatu perbuatan (Eddy OS Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 278). Artinya, perbuatan yang dilakukan pelaku bukan merupakan perbuatan melawan hukum, sehingga pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Maka dari itu meskipun Pasal 8 UU Pers tidak menyebutkan secara tegas mengenai bentuk dan prosedur perlindungan hukum bagi wartawan yang menjalankan pekerjaannya, sebagaimana advokat dalam menjalankan tugasnya yang dilindungi oleh Pasal 16 UU Advokat, namun apabila Pasal 8 UU Pers ditafsirkan secara sistematis dengan mengubungkan ketentuan alasan penghapus pidana dengan bentuk alasan pembenar sebagaimana diatur dalam Pasal 50 KUHP maka jelas bahwa wartawan yang menjalankan profesinya tidak dapat dijatuhi pidana.

    Dengan demikian, tindakan kelompok Relawan Jokowi Bersatu yang melaporkan Najwa Shihab dugaan tindak pidana penghinaan terhadap Presiden Jokowi karena melakukan wawancara terhadap kursi kosong yang sejatinya ditujukan kepada Menkes RI tersebut tidak tepat secara akademik, karena berdasarkan penjelasan diatas sudah jelas bahwa delik penghinaan terhadap pejabat termasuk kepada presiden atau menteri merupakan delik aduan, dimana satu-satunya orang yang dapat melaporkan dugaan tindak pidana penghinaan tersebut adalah presiden atau menkes sendiri sebagai orang dan bukan berdasarkan jabatannya sebagai presiden atau menkes. Seandainya pun, presiden atau menteri yang bersangkutan melakukan pelaporan atas dugaan tindak pidana penghinaan yang ditujukan kepadanya, menurut penulis seharusnya negara berkewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan hukum kepada wartawan dalam menjalankan tugas profesinya tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Pers yang telah disebutkan diatas. 


DISCLAIMER:

  1. Tulisan ini tidak bertujuan untuk membela atau menyudutkan pihak manapun;
  2. Tulisan ini hanya bertujuan untuk memberikan pendapat penulis secara akademis mengenai pelaporan presenter Najwa Shihab ke Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana penghinaan terhadap presiden atau pejabat negara oleh kelompok Relawan Jokowi Bersatu pada 6 Oktober 2020;
  3. Pada saat tulisan ini dibuat, Polda Metro Jaya telah menolak laporan yang diajukan oleh kelompok Relawan Jokowi Bersatu tersebut (vide https://wartakota.tribunnews.com/2020/10/06/alasan-polisi-menolak-laporan-relawan-jokowi-terhadap-najwa-shihab-terkait-wawancara-kursi).


Sumber referensi:

  • UUD NRI 1945
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  • Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  • Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006
  • Putusan MK Nomor 31/PUU-XIII/2015
  • Eddy OS Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
  • Andi Nur Aminah, Wawancara Kursi Kosong, Najwa Shihab Dilaporkan ke Polisi, diakses dari https://republika.co.id/berita/qhrmsz384/wawancara-kursi-kosong-najwa-shihab-dilaporkan-ke-polisi, pada tanggal 6 Oktober 2020, pukul 23.30 WIB

Comments

Popular posts from this blog

PAHAMI PROSES EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

Kekuatan Mengikat SEMA dalam Penanganan Perkara di Pengadilan

Legal update: SYARAT DAN TATA CARA PENDIRIAN PERSEORAN TERBATAS