PAHAMI PROSES EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

PAHAMI PROSES EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

sumber gambar: 

https://smartlegal.id/galeri-hukum/perlindungan-konsumen/2021/04/13/ini-5-persyaratan-agar-putusan-arbitrase-internasional-berlaku-di-indonesia/

oleh:

Muhammad Kharisma Bayu Aji, S.H. 

Seiring dengan adanya kemajuan teknologi maka mendorong globalisasi dalam bidang ekonomi yang dibuktikan dengan adanya perdagangan internasional, baik yang dilakukan oleh pemerintah dalam suatu Negara dengan pemerintah di Negara lain (Government to Government) maupun badan usaha dari satu negara dengan badan usaha di negara lain (Business to Business). Dalam hal demikian maka dibutuhkan adanya sarana hukum yang komprehensif untuk melindungi kepentingan hukum para pihak yang berkepentingan dalam lalu lintas perdagangan internasional tersebut. Salah satu sarana hukum yang diperlukan adalah perjanjian internasional. Dalam pelaksanaannya, suatu perjanjian tidak selalu sesuai seperti yang diharapkan, bahkan terkadang dapat terjadi perselisihan antara para pihak dalam perjanjian tersebut yang berujung dengan sengketa. Pada umumnya suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak telah terdapat klausula penyelesaian sengketa, baik penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) maupun penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi).

Lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi) yang berada di Indonesia disebut sebagai Arbritase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa/ Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2009 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Dalam perkembangannya penyelesaian sengketa secara non litigasi berbentuk arbitrase banyak digunakan oleh para pihak karena berbagai keunggulan didalamnya, salah satunya adalah putusan arbitase yang bersifat final dan mengikat sehingga lebih menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam pelaksanaan putusannya. Arbitrase berasal dari kata “Ärbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Black’s Law Dictionary memberikan definisi arbitrase sebagai “a process of dispute resolution in which a neutral third party (arbitrator) renders a decision after a hearing at which both parties have an opportunity to be heard atau Arbitration is an arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”.

Lebih lanjut, menurut hukum yang berlaku di Indonesia yaitu Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase memberikan definisi arbitrase sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan pengertian arbitrase a quo maka penyelesaian perkara melalui mekanisme arbitrase membutuhkan adanya persetujuan antara para pihak yang dapat dituangkan dalam klausul arbitrase sebagai bentuk penyelesaian didalam perjanjian pokoknya atau biasa disebut sebagai Pactum De Compromittendo (vide Pasal 7 UU Arbitrase). Adapun dalam hal para pihak didalam perjanjian tidak menyebutkan klausula arbitrase untuk penyelesaian sengketa dan pada saat timbul sengketa para pihak ingin menyelesaikan melalui mekanisme arbitrase, maka dapat dibuat Akta Kompromis yang merupakan perjanjian yang dibuat secara tersendiri dan terpisah dari perjanjian pokok antara para pihak setelah sengketa terjadi untuk penyelesaian sengketa melalui proses arbitrase dan akta tersebut wajib berbentuk akta notaris (vide Pasal 9 ayat 1 dan 2 UU Arbitrase).

Proses eksekusi putusan arbitrase terutama putusan arbitrase internasional memegang peranan penting dalam mempengaruhi citra penegakan hukum di Indonesia. Apabila pelaku bisnis lintas Negara merasa bahwa putusan arbitrase internasional tidak dapat dieksekusi di Indonesia maka akan menurunkan tingkat kepercayaan pelaku usaha dalam menanamkan modalnya di Indonesia karena menganggap bahwa hukum di Indonesia tidak mempunyai kepastian hukum terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional yang memiliki sifat final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa. Pengaturan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia sebelumnya telah diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Selanjutnya pada tanggal 12 Agustus 1999 diundangkan dan mulai berlaku UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dalam ketentuan peralihannya menyatakan tidak berlakunya ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227) dimana peraturan tersebut menjadi aturan yang mendasari terbitnya PERMA No. 1 Tahun 1990.  Maka berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori yang berarti undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan undang-undang yang lebih rendah, PERMA No. 1 Tahun 1990 sudah tidak berlaku lagi sejak diundangkannya UU Arbitrase tersebut karena peraturan yang mendasari dikeluarkannya PERMA a quo sudah dinyatakan tidak berlaku.

 Berdasarkan UU Arbitrase yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakarta Pusat). Lebih lanjut, tidak semua putusan arbritase internasional dapat dieksekusi di Indonesia. Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (vide Pasal 66 UU Arbitrase):

a.    Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;

b.   Putusan arbitrase internasional tersebut terbatas pada putusan yang menurut hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan, meliputi bidang: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak atas kekayaan intelektual;

c.      Terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;

d.      Wajib memperoleh perintah pelaksanaan (eksekuatur) dari Ketua PN Jakarta Pusat; dan

e.   Khusus Putusan arbitrase internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, maka hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung RI yang selanjutnya dilimpahkan kepada PN Jakarta Pusat.

Syarat-syarat diatas dirumuskan secara kumulatif sehingga menimbulkan konsekuensi hukum bahwa suatu putusan arbitrase internasional wajib memenuhi seluruh syarat tersebut untuk dapat di eksekusi di wilayah hukum Indonesia. Selanjutnya setelah permohonan eksekusi putusan arbitrase internasional dibuat, maka arbiter atau kuasanya menyerahkan dan mendaftarkan kepada Panitera PN Jakarta Pusat dengan disertai menyerahkan dokumen sebagai berikut (vide Pasal 67 ayat 1 dan 2 UU Arbitrase):

a.       Lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;

b.      Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; dan

c.       Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Selanjutnya, dalam hal putusan arbitrase internasional yang pihaknya bukan menyangkut Negara Republik Indonesia, maka eksekuatur yang telah dijatuhkan oleh Ketua PN Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional tidak dapat diajukan upaya hukum banding atau kasasi (vide Pasal 68 ayat 1 UU Arbitrase).  Sebaliknya, apabila eksekuatur dari Ketua PN Jakarta Pusat menyatakan menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase internasional, maka terhadap eksekuatur tersebut dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Agung RI wajib mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi atas penolakan eksekusi putusan arbitrase internasional tersebut dalam jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung RI (vide Pasal 68 ayat 3 UU Arbitrase). Lebih lanjut, khusus terhadap Putusan Arbitrase Internasional yang pihaknya adalah Negara Republik Indonesia yang telah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung RI, maka terhadap eksekuatur tersebut tidak dapat diajukan upaya perlawanan dalam bentuk apapun. 

Selanjutnya setelah Ketua PN Jakarta Pusat mengeluarkan eksekuatur terhadap putusan arbitrase internasional, namun domisili dari termohon eksekusi tidak berada di wilayah hukum PN Jakarta Pusat, maka pelaksanaannya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal termohon yang secara relatif berwenang untuk melaksanakannya dengan tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengukuti cara sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia.

Berdasarkan penjelasan diatas, terlepas dari judul tulisan ini mengenai proses eksekusi putusan arbitrase internasional, sebagai tambahan untuk mencegah agar suatu putusan arbitrase internasional tidak dapat dieksekusi di wilayah hukum Indonesia, maka menurut penulis terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan  dalam membuat perjanjian internasional di bidang perdagangan sebagai berikut:

 

a.      Adanya Persetujuan Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

Apabila para pihak  dalam perjanjian internasional sejak awal menghendaki proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka dalam perjanjian tersebut harus terdapat klausula penyelesaian sengketa dengan menggunakan mekanisme arbitrase (Pactum De Compromittendo) agar para pihak tidak perlu membuat akta kompromis jika terjadi sengketa agar lebih menghemat biaya di kemudian hari.

 

b.      Kedudukan Hukum Pihak dalam Perjanjian

Kedudukan hukum pihak yang mengadakan perjanjian internasional harus berada di Negara yang terikat dengan perjanjian baik berupa perjanjian bilateral atau multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dengan Negara Indonesia.

 

c.       Objek Perjanjian

Suatu perjanjian harus memiliki objek yang jelas, hal demikian sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu objek tertentu merupakan syarat objektif dari suatu perjanjian. Lebih lanjut akibat hukum jika tidak dipenuhinya syarat objektif perjanjian maka perjanjian a quo batal demi hukum (null and void) atau dianggap tidak pernah ada. Sejalan dengan konsep dasar tersebut, Perjanjian internasional yang dibuat oleh para pihak harus masuk dalam lingkup perdagangan sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Pasal 66 huruf b UU Arbitrase meliputi bidang: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak atas kekayaan intelektual.

Selain itu hal yang perlu diperhatikan adalah objek perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum. Khusus mengenai ketentuan ketertiban umum ini, tidak terdapat penjelasan yang rinci baik di dalam UU Arbitrase maupun peraturan perundang-undangan lain yang berlaku di Indonesia. Hal ini tentunya menjadi titik lemah tersendiri bagi hukum di Indonesia karena tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai makna dari ketertiban umum. Ketiadaan penafsiran ketertiban umum ini dalam praktik juga menimbulkan multitafsir dikalangan penegak hukum dan dalam konteks teori juga bertentangan dengan asas kejelasan rumusan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf f UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan yang berarti setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

 

d.      Ketentuan Bahasa

Ketentuan mengenai penggunaan bahasa memegang peranan penting dalam penentuan keabsaan perjanjian internasional. Hal ini dikarenakan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) mengamanatkan bahwa perjanjian yang dibuat antara subyek hukum yang berkewarganegaraan Indonesia dengan subyek hukum dengan warga Negara asing wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia dan bahasa nasional subyek hukum yang berkewarganegaraan asing tersebut. Lebih lanjut bunyi pasal a quo adalah sebagai berikut:

1)  Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintah Republik Indonesia , lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga Negara Indonesia;

2)      Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Lebih lanjut peraturan pelaksana ketentuan bahasa dalam perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam pasal a quo adalah Perpres No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres Bahasa) yang mengatur bahwa tujuan dari penggunaan bahasa Inggris dan/atau bahasa nasional dari pihak lawan dalam suatu perjanjian internasional adalah sebagai padanan atau terjemahan Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman dalam perjanjian tersebut. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan perjanjian tersebut, maka bahasa yang dihunakan adalah bahasa yang disepakati dalam perjanjian (vide Pasal 26 ayat 3 dan 4 Perpres Bahasa). Oleh karena itu dalam suatu perjanjian internasional yang dibuat dalma dua versi bahasa wajib mengatur mengenai penentuan bahasa yang dipilih dalam hal terdapat perbedaan penafsiran antara para pihak dalam perjanjian tersebut.

Apabila ketentuan dalam UU Bahasa a quo dihubungkan dengan syarat objektif dari sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata yang mengatur suatu perjanjian tidak boleh terdapat suatu sebab yang dilarang, baik itu yang dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, dan/ atau ketertiban umum (vide Pasal 1337 KUHPerdata). Meskipun Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU Bahasa tersebut tidak mengatur mengenai sanksi atau dalam konteks teori disebut sebagai lex imperfecta/ aturan tanpa sanksi, namun karena pasal tersebut menggunakan frasa “wajib” maka termasuk ketentuan hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht) dan dalam teori hukum perjanjian apabila suatu perjanjian yang tunduk dalam hukum Indonesia/ salah satu subyek hukumnya berkewarganegaraan Indonesia, namun tidak memenuhi syarat objektif perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada (null and void). 

Atas dasar penjelasan diatas, untuk mencegah agar suatu perjanjian internasional tidak batal demi hukum dan apabila terjadi sengketa serta diajukan mekanisme arbitrase putusannya dapat di eksekusi di Indonesia, maka lebih baik suatu perjanjian internasional dibuat dalam dua versi bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa asing sesuai pihak lain dalam perjanjian tersebut atau menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa universal. 

 

Sumber referensi:

·         UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

·         PERMA No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

·         UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan

·         UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan

·         Black’s Law Dictionary

·         Perpres No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia


Comments

Popular posts from this blog

Kekuatan Mengikat SEMA dalam Penanganan Perkara di Pengadilan

Legal update: SYARAT DAN TATA CARA PENDIRIAN PERSEORAN TERBATAS