Kekuatan Mengikat SEMA dalam Penanganan Perkara di Pengadilan

 

Kekuatan Mengikat SEMA dalam Penanganan Perkara di Pengadilan

 

Mahkamah Agung RI sebagai lembaga peradilan tertinggi di empat lingkungan peradilan mempunyai kewenangan untuk memastikan agar peradilan yang berada dibawahnya dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat terhadap akses keadilan dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sebagaimana diatribusikan dalam Pasal 35 jo. Pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang pada intinya mengatur bahwa Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan dibawahnya sebagai bentuk pelaksanaan dari fungsi pengaturan dari Mahkamah Agung terhadap lembaga peradilan yang berada dibawahnya. Sebagai tindak lanjut atas fungsi pengaturan tersebut, maka sejak tahun 2012 Mahkamah Agung RI rutin melakukan rapat pleno untuk menginventarisir permasalahan  yang timbul dalam pelaksanaan proses peradilan di Mahkamah Agung RI dan badan peradilan yang berada dibawahnya. Permasalahan tersebut dapat timbul karena peraturannya yang belum ada, belum jelas, atau peraturan yang ada tidak dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat yang selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Hal tersebut sesuai dengan postulat yang berbunyi "Het Recht Hink Achter De Feiten Aan" yang artinya hukum selalu tertinggal dengan peristiwanya.

Dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat terhadap akses hukum dan keadilan, maka Mahkamah Agung RI melakukan rapat pleno untuk menemukan hukum baru yang belum diatur dalam peraturan yang berlaku. Rapat pleno adalah media untuk mempersatukan persepsi dan pendapat dari para Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung terhadap suatu persoalan dan isu hukum tertentu untuk membangun kesatuan dan konsistensi putusan. Rapat pleno merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem kamar pada Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Lampiran SK KMA Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang tujuannya antara lain sebagai berikut:

1.     Untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan Mahkamah Agung;

2.     Meningkarkan profesionalitas Hakim Agung;

3.     Mempercepat proses penyelesaian perkara

Hasil dari rapat pleno tersebut selanjutnya dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) dan menjadi pedoman bagi Mahkamah Agung serta empat peradilan dibawahnya dalam penanganan perkara dan kesekretariatan. Pada umumnya isi dari SEMA adalah untuk memperjelas ketentuan yang belum ada atau belum jelas aturannya dan hanya berlaku kedalam lingkungan Mahkamah Agung dan peradilan yang berada dibawahnya. 

Berdasarkan uraian tersebut, timbul pertanyaan sejauh mana daya ikat SEMA dan bagaimana klasifikasi SEMA dalam sistem tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia?

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia secara berurutan terdiri sebagai berikut:

a.     Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

b.     Ketetapan MPR;

c.     Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d.     Peraturan Pemerintah;

e.     Peraturan Presiden;

f.      Peraturan Daerah Provinsi; dan

g.     Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.

Berdasarkan penjelasan tersebut, keberadaan SEMA memang tidak diatur secara ekspresif verbis dalam Pasal a quo. Namun pada Pasal 8 undang-undang a quo mengatur bahwa selain jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1), diakui juga peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, BPK RI, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/ Kota, Bupati/ Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Lebih lanjut berikut adalah bunyi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:

1)    Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakp peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota, Bupati/ Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

2)    Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Berdasarkan Pasal a quo, SEMA yang merupakan hasil rapat pleno para hakim agung mempunyai kekuatan hukum mengikat layaknya

Comments

Popular posts from this blog

PAHAMI PROSES EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

Legal update: SYARAT DAN TATA CARA PENDIRIAN PERSEORAN TERBATAS