Membunuh begal untuk membela diri, apakah dapat dipidana?
Membunuh begal untuk membela diri, apakah dapat dipidana?
oleh:
Muhammad Kharisma Bayu Aji, S.H.
Belakangan
ini masyarakat dikejutkan dengan fenomena korban begal yang membela diri dengan
cara menyerang balik pelaku hingga mengakibatkan pelaku meninggal dunia. Lebih
lanjut adalah sebuah naluri manusia ketika dirinya merasa terancam maka akan
membela diri agar terhindar dari ancaman tersebut. Namun tindakan korban
pembegalan yang membela diri dengan berujung pada meninggalnya pelaku tersebut
terkadang berakibat penetapan tersangka bagi korban. Menjadi pertanyaan, apakah
korban pembegalan yang membela diri sehingga mengakibatkan meninggalnya pelaku
dapat ditetapkan sebagai tersangka dan berujung pada penjatuhan pidana?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut maka harus dibedakan terlebih dahulu mengenai
proses penetapan tersangka dan penjatuhan pidana terhadap seorang korban yang
membela diri dari percobaan pembegalan yang berujung pada meinggalnya
pelaku.
1.
Penetapan Tersangka
Penetapan
seseorang menjadi tersangka didasarkan pada adanya bukti permulaan yang patut
diduga seorang tersebut merupakan pelaku perbuatan pidana atau pada umumnya
disebut sebagai bukti permulaan yang cukup (vide Pasal 1 angka 14
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana/ KUHAP). Selanjutnya pengertian
"bukti permulaan" telah diatur dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014,
dimana MK menyatakan bahwa bukti permulaan harus dimaknai minimal dua alat
bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang terdiri
sebagai berikut:
- Keterangan saksi;
- Keterangan ahli;
- Surat;
- Petunjuk;
- Keterangan terdakwa.
Sepanjang
telah terpenuhinya minimal dua alat bukti di atas yang menunjukkan bahwa
seseorang telah melakukan suatu perbuatan pidana, maka penyidik sesuai dengan
kewenangannya dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Namun
hal yang perlu diingat adalah dalam konteks Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, KUHAP menganut asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang
menghendaki agar tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan
selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum (vide Pasal 50
KUHAP jo. Pasal 2 ayat 4 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Selain itu, Pasal 109 ayat (2) KUHAP memberikan kewenangan kepada penyidik
untuk menghentikan proses penyidikan yang sedang berjalan dengan alasan sebagai
berikut:
a.
Tidak terdapat cukup bukti, yaitu
apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menetapkan seseorang
menjadi tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk
membuktikan kesalahan tersangka.
b.
Peristiwa tersebut ternyata bukan
perbuatan pidana, atau
c.
Penyidikan dihentikan demi hukum,
yang berupa nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara telah
kedaluwarsa.
Artinya meskipun penyidik mempunyai
kewenangan untuk menetapkan tersangka terhadap korban pembegalan yang melakukan
perlawanan sehingga mengakibatkan kematian pada pelaku berdasarkan adanya bukti
permulaan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP,
namun dalam hal ini penyidik perlu mempertimbangkan adanya asas peradilan cepat,
sederhana dan biaya ringan sebagaimana telah dijelaskan diatas karena
pada akhirnya proses penyidikan tersebut juga dapat dihentikan dikarenakan
tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan kesalahan dari tersangka dengan
cara mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
2.
Penjatuhan Pidana
Selanjutnya,
penjatuhan pidana terhadap seseorang merupakan kewenangan hakim pada peradilan
umum yang memeriksa dan mengadili perkara a quo. Dalam hukum pidana
dikenal adanya konsep "Trias Hukum Pidana" yang terdiri dari
Perbuatan Pidana, Pertanggungjawaban Pidana dan Pidana. Lebih lanjut menurut
Aliran Dualistis yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban
pidana, pada pokoknya menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan
pidana belum tentu dalam dijatuhi pidana, harus dilihat dulu apakah seseorang
tersebut mempunyai kemampuan bertanggungjawab atau tidak.
Secara
singkat Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang atau diperintahkan dan
disertai sanksi berupa pidana bagi setiap orang yang melanggar larangan dan
yang tidak melaksanakan perintah tersebut. Sedangkan pertanggungjawaban pidana
menurut Van Hamel sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya
Prinsip-Prinsip Hukum Pidana adalah suatu keadaan normal psikis dan kemahiran
yang membawa tiga macam kemampuan, yaitu: 1) mampu untuk dapat mengerti makna
serta akibat sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri; 2) mampu untuk
menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban
masyarakat; dan 3) mampu untuk menentukan kehendak berbuat. Ketiga unsur
tersebut bersifat kumulatif, artinya apabila salah satu unsur saja tidak
terpenuhi, maka seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Selanjutnya apabila seseorang sudah terbukti melakukan perbuatan pidana dan
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, maka hakim berdasarkan Pasal 183
KUHAP dengan mempertimbangkan minimum dua alat bukti yang sah dan keyakinan
hakim (Negatief wettelijk bewijstheorie) dapat menjatuhkan pidana kepada
terdakwa.
Sehubungan
dengan pertanggungjawaban pidana, hukum pidana mengenal adanya alasan
penghapus pidana yang terdiri dari alasan pembenar yang menghapuskan sifat
melawan hukum perbuatan dan alasan pemaaf yang menghapuskan sifat dapat
dicelanya perbuatan. Terkait dengan korban pembegalan yang membela diri
sehingga mengakibatkan meninggalnya pelaku maka dapat dikategorikan sebagai
Pembelaan Terpaksa (noodweer) atau Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (noodweerexces)
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) dan (2) KUHP, tergantung kondisi dan
berat ringannya perlawanan dari korban tersebut. Selanjutnya Pasal 49 ayat (1)
KUHP menyatakan sebagai berikut:
"Tidak
dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri
maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang
lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu
yang melawan hukum"
D.
Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius (dalam Eddy O.S. Hiariej, 2015: 272)
menjelaskan bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa maka
harus dipenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
- Ada serangan seketika;
- Serangan tersebut bersifat
melawan hukum/ bertentangan dengan undang-undang;
- Pembelaan merupakan keharusan;
dan
- Cara pembelaan adalah patut.
Masih
menurut D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius (dalam Eddy O.S. Hiariej,
2015: 275) menjelaskan bahwa terkait dengan syarat pembelaan terpaksa keempat,
maka terdapat prinsip proporsionalitas yang berarti harus ada keseimbangan
antara kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang dilanggar, dimana
perbuatan pidana yang dilakukan untuk pembelaan diri harus seimbang dengan
serangan yang dihadapi oleh korban. Sebagai contoh: A sedang mengendarai motor,
kemudian diberhentikan oleh B dan C yang bermaksud untuk merampok A juga
mengendarai motor dari belakang dengan membawa batu dimana B langsung
melemparkan batu kearah A yang mengakibatkan A terjatuh, kemudian A dengan
tangan kosong seketika langsung memukul B dibagian dada dan menendang C yang
mengakibatkan B meninggal dunia dan C terjatuh serta tidak sadarkan diri.
Tindakan A yang memukul B dan menendang C yang mengakibatkan B meninggal dunia
dan C terjatuh serta tidak sadarkan diri tersebut dapat dikategorikan sebagai
pembelaan terpaksa karena telah terpenuhinya keempat syarat pembelaan
terpaksa diatas.
Selanjutnya
terkait Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (noodweerexces)
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP menyatakan sebagai berikut:
"Pembelaan
terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa
yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana
D.
Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius (dalam Eddy O.S. Hiariej, 2015: 277)
menjelaskan bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa maka
harus dipenuhi syarat-syarat berupa:
- Harus ada situasi yang
menimbulkan pembelaan terpaksa sebagaimana telah dibahas dalam Pasal 49
ayat (1) KUHP;
- Harus ada kegoncangan jiwa yang
hebat akibat serangan tersebut sehingga menimbulkan pembelaan terpaksa
yang melampaui batas.
Menurut Sudarto (dalam Eddy
O.S. Hiariej, 2015: 277) dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas harus
ada hubungan kausalitas antara kegoncangan jiwa dengan serangan yang bersifat
seketika sebagaimana ditentukan dalam pembelaan terpaksa. Alasan tidak dipidana
kepada seseorang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah
karena pembentuk undang-undang menganggap adil, jika pelaku yang menghadapi
serangan demikian tidak dipidana. Sebagai contoh: X seorang perempuan yang
sedang mengayuh sepeda untuk menghadiri acara pernikahan saudaranya, karena
bermaksud untuk membantu urusan konsumsi, maka X membawa pisau yang diletakkan
di keranjang depan sepedanya. Namun di pertengahan jalan yang sepi, X di pepet
oleh Y yang mengendarai motor yang hendak merampok dan memperkosa X yang
mengakibatkan X terjatuh dari sepeda. Selanjutnya karena X merasa takut dan
terancam maka X dengan sekuat tenaga menendang Y yang mengakibatkan Y terjatuh,
tidak cukup demikian karena panik X mengambil pisau dan menusukkan pisau
tersebut kearah perut Y yang mengakibatkan Y mengalami pendarahan hebat dan
dibawa ke rumah sakit yang pada akhirnya Y meninggal dunia. Tindakan Y
yang menendang dan menusuk X yang mengakibatkan X meninggal dunia dapat
dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa melampaui batas karena terdapat
keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP dan adanya
kegoncangan jiwa yang hebat yang mengakibatkan korban melampaui batas dalam
membela diri.
Terlepas
dari hal-hal diatas, menurut penulis untuk menentukan tindakan seorang korban
yang membela diri dari percobaan pembegalan yang berujung pada meinggalnya
pelaku termasuk dalam alasan penghapus pidana baik sebagai Pembelaan Terpaksa
atau Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas adalah menjadi kewenangan majelis hakim
melalui pembuktian di peradilan umum. Hal tersebut karena unsur dari Pasal 49
ayat (1) dan (2) KUHP sendiri yang menyatakan bahwa seseorang yang terbukti
melakukan suatu perbuatan pidana namun terdapat alasan penghapus pidana dalam
dirinya baik berupa Pembelaan Terpaksa atau Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
maka tidak dipidana. Selanjutnya jika dikaitkan dengan kewenangan penegak hukum
untuk menjatuhkan pidana, kewenangan tersebut hanya terdapat pada majelis hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara a quo.
Kesimpulan:
Seseorang yang melakukan pembelaan diri dari suatu kejahatan termasuk didalamnya pembegalan dapat ditetapkan tersangka oleh penyidik berdasarkan adanya minimum dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Namun penetapan tersangka tersebut pada akhirnya dapat dicabut dengan penerbitan SP3 dikarenakan tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan kesalahan dari pelaku serta dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 KUHAP jo. Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selanjutnya apabila proses penyidikan tersebut berlanjut sampai dengan pemeriksaan di persidangan, maka majelis hakim yang memeriksa perkara a quo berdasarkan Pasal 183 KUHAP dengan mempertimbangkan minimum dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim (Negatief wettelijk bewijstheorie) wajib mempertimbangkan adanya alasan penghapus pidana yang terdapat dalam diri terdakwa baik berupa Pembelaan Terpaksa (noodweer) atau Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (noodweerexces) sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) dan (2) KUHP untuk menentukan apakah terdakwa dapat dijatuhi pidana/ dimintakan pertanggungjawaban pidana atau tidak. Apabila terbukti di persidangan bahwa dalam diri terdakwa terdapat alasan penghapus pidana baik berupa Pembelaan Terpaksa (noodweer) atau Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (noodweerexces), maka terdakwa tidak dapat dipidana.
Sumber referensi:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
- Eddy O.S. Hiariej, 2015, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka.
Comments
Post a Comment